Selamat datang di Kawasan Penyair Jawa Timur Terima kasih atas kunjungan Anda

Selasa, 20 September 2011

SUBAIDI PRATAMA


Lahir di Jadung, Dungkek, Sumenep, pada tanggal 11 Juni 1992. Ia senang bergiat di bidang sastra
Semenjak dirinya duduk di bangku MTs/SMP, tepatnya kelas VII.
Jenjang pendidikan yang ia tempuh MI/SD Tarbiyatul Muta’allimin Jadung, MTs/SMP Tarbiyatus Shibyan Jadung, kemudian belajar di Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep lulus tahun 2010. Lalu sekarang melanjutkan studinya di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tribhuana Tunggadewi Malang. Ia pernah menjuarai lomba cipta puisi tingkat kabupaten Sumenep dan Olimpiade MAI 2010, juara I cipta puisi yang di selenggarakan oleh ORDA ISI Annuqayah.
Di antara karya-karyanya yang berupa puisi dan cerpen, dimuat di Majalah lokal dan nasional. seperti Horison/kaki langit, Tera Senibudaya, dan beberapa Majalah di Annuqayah. Majalah Executive News Malang. Serta puisinya terkumpul dalam Antologi “Vestifal Bulan Purnama” Mojokerto. Bersama penyair muda Indonesia. Antologi “TIRTA”, dan antologi “Reportase Yang Gagal” Annuqayah. Dan ia pernah menulis Antologi tunggal “Pelayaran Seorang Pecinta” 2010. Merintis Komonitas PERSI (Penyisir Satra Iksabad) 2010, dan pernah aktive di Sanggar ANDALAS Annuqayah 2009-2010. Mengelola blog. airmatalangit.blogspot.com


Dedak Airmata


Kali ini langit telah berhenti menangis Fia,!
Tinggal kau meneguknya di tanggul-tanggul dedak airmata

Kau yang berjalan lembut, menjejaki tangga gunung, tanah-tanah hijau bersemu ungu oleh nafasmu. Kau bangunkan aku dari gigil malam, dan tubuhku pun jadi hijau-hangat terurai, mencucup bening cintamu yang mengembung hening di dadaku. Kini kau panggil lamat matahari bercakap akrab dengan arah yang teramat tertib. Angin pun datang mencibir guntur, awan pulang berangsur-angsur. Hingga kami, aku, pohon dan burung-burung sesekali kehilangan jejakmu.

Ada yang terjatuh dari tangkai hidupku Fia,!
Seperti serbuk langit, kuncup-kuncup Wingit mulai meleleh-gugur satu-satu. Menebar sari doa yang membuat kembang dan kumbang jadi kering. Yang membuat batang-akarnya ikhlas melepas tanah. Dan kau hujan, yang membunuh itu semua dengan dekejap tanpa rentang waktu dan musim kemarau. Kau seperti sebentuk rindu berjarak dari hatiku. Tinggal seberkas panas mengaku sebagai sumber airmata, dan bercerita tentang alam kematian.


Malang, 01-06-2011


Mendung Di Langit Malang

Selamat malam mendung
Silakan masuk kedalam jantung
Duduklah di atas ranjang
Ruang telah pekat
Menunggumu hampir sekarat

Berabat-abat di atas biru laut
Akulah langit bulat menggumpal
Semakin gigil berlari dan terus memanggil
Kearah utara kutub selatan
Hingga tak terukur jarak senapan

Dalam bayang nyala namamu
Makin menggunung
Menggiringku bawah tanah
Lalu terjun keatas awan menembus bulan
Hingga aku tau makna laut
Dalam bukan di bumi
Pun tinggi tidak di langit

Tiap malam embun datang
Selalu kusebut Kau sebagai rindu
“selamat malam mendung
silahkan masuk kedalam jantung”

Lalu kemudian aku naik kebukit-bukit tertinggi
Serupa Elang dan burung Merpati
Mencari malam dalam kabut dadamu
Kupukul-pukul bulan tak nyata, matahari, gerimis,
Dan segenap tangis

Tiba-tiba kau diam begitu saja
Airmata menjelma debu dalam gelas
Angin pupus hembus
Serta daunan berhenti gerak
Dalam diri tak pernah beranjak

Tinggal kau yang terus berlari
Keanak sungai mencipta imaji
Dan aku tak cukup aku
Meski kau adalah diriku
Sebab warna langit sama biru

Malang, 10 Januari 2011


Ritus Gerimis Bulan Agustus

Gerimis baru itu, mendatangkan tangis biru
Sekejap mataku bertalu-talu
Mengantarkan surat warna langit yang kelabu

Ritus gerimis bulan agustus
Menajamkan pikiran pada jejak ingatan
Yang menikung; dalam
Masa lampau, sekarang dan akan datang
Bergelombang dalam pikiran

Otakku serupa laut tak pernah surut
Meski biru airnya kau sebut kecut
Ia, akulah laut tak habis gelombang
Tempat menampung segala air matamu

Malang, 11 januari 2011


Hujan Turun Sembahyang

Tak ada yang perlu kau tau
Hujan kali ini turun sembahyang
Membasahi taman kuburan
Tangkai rintiknya menggali tanah
Aku menjerit bersama do’a getar-petir
“semoga tak banjir”
Meski sembahyangku penuh khawatir

Malang, 13-03-2011


Sabda Gerhana

Kubiarkan kerling malammu menusuk mataku
Agar angin dan abu leluasa masuk, pulang pergi
Serupa pendar matahari
Agar aku bisa mencuri air surga untukmu

Kemudian minumlah, airku segar tapi hanya secangkir
Jangan buang jika kau tak mau, sebentar lagi ada yang minat
Sebab aku teramat penat, kalau begitu congkel saja mataku satu

Lalu lemparkan kelubang langit
Biar menyala jadi bulan

Dan bersabda pada bintang lainnya
:akulah bulan penguasa gerhana
Yang akan kau ledakkan di rahim purnama

Malang, 02-06-2011

Janji
:Buat Awan,s

Aku telah berjanji akan mengubur kenangan pedih yang lampau
Aku juga berjanji akan setia pada hati puisi, seperti ucapmu kemarin
“aku ingin belajar mencintaimu dengan islami”
Seperti ingatan tentang kupu dan bulu-bulu, sudah kubilang
Semua hanya soal waktu, dan akan kutanggalkan kenangan pedih itu
Seperti kelopak yang harus jatuh. Sebab begitulah senyum berpulang dan perih bertandang.
Kini kau-aku harus memulai senyum baru seperti burung dan awan yang melahirkannya.

Malang, 02-06-2011