Selamat datang di Kawasan Penyair Jawa Timur Terima kasih atas kunjungan Anda

Senin, 15 Oktober 2007

W.Haryanto


W. Haryanto
(Surabaya)

Lahir di Surabaya, 14 Oktober 1972.. Penyair, Ketua redaksi Majalah Kidung, dan Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur. Menamatkan studinya di Fakultas Sastra Unair Surabaya. Karya-karyanya tersebar di beberapa media massa antara lain: di Jurnal Kalam, Jurnal Filsafat Mitra, Sastra, Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, Puitika, Bali Post, Surabaya Post, Mimbar, Penyebar Semangat, Retorika, Suara Airlangga dan lain-lain. Puisinya berjudul Rumah Impian memperoleh juara II dalam Peksiminas ke-5 tahun 1999, sejumlah puisinya yang lain terkumpul dalam pelbagai antologi antara lain : Zaman (1995), Keajaiban Bulan Ungu (2000), Luka Waktu (1998), Memo Putih (2000), Malsasa 2000 (2000), Kabar SakaBendul Merisi (2001), Gelak Esei dan Ombak, Puisi Bentara (2001,2002), Birahi Hujan (2004), Dian Sastra for President : End of Trilogy (2005), dan Duka Atjeh Duka Bersama (2005). Antalogi tunggalnya Labirin Dari Mata Mayat (2003), Cerita Buat Putri Rajab (2004). Kini bekerja sebagai staf Balai Bahasa Surabaya. Salah satu puisinya :

Aku Berdiri Dalam Bayangmu Seperti Pencuri
--kepada : N

1.
Dulu, Tak ada bulan,
lalu aku patah. Dingin kencang
menyisir batas yang tak sengaja
kucemaskan. Kemarin
dan lama,

Masih aku berhutang satu hal, barangkali
pilihan yang terburu. Kerdip sunyi,
bau basi ikan asin—

Lama,
aku bermain dengan suram, mencerca,
sisa gerah yang riuh tanpa penghubung
angsa-angsa yang mendesak lapar. Dalam
semua bayangan, Juni yang pemalu
yang tersisih

ke bumi yang letih. Tak lebih gigih, lampu
lampu kerjap pada kota yang lama,
lupa, cuma dengus, lalu dalih
seperti pijar
2.
--di Stasiun Tugu
…. begitu menekan. Orang-orang berebut kursi
dan letak sumur,

biar harum, atau tatapan licik
kupu-kupu bubar sisih menyisih. Seperti perempuan
menunggu tumpangan ; O cahaya April

bunga batu menekuk lutut
merah berpacu dengan tali kekang
berputar, tali diputar, pilihan atau mata
yang ingin tahu—jauh ke dalam hulu
jam 3, stasiun tugu, lampu-lampu jingga
bukan anjing. Kau tahu
melulu sundal. Kau bisu

Tuhan, ini bukan mimpi bualan
adakah yang lebih lantang ketimbang bimbang
pesanmu pucat, mencicip burung lingsir
Dapatkah sedetik saja, aku jatuh
ke hilir payudaramu, mencicip urat
urat susumu—” sungguh,
ini bukan kesan yang luang.”
Bersama orang-orang pesisir kubentuk burung
dari potongan bayangan

Beri debarmu—
beri kepada minat angin yang menyapu kampung
kampung awan,”beri aku kesanmu, biar aku tak terlalu rindu.”
Tapi bulan mati. Kadang kusuka
acuh. Takbir yang singkat dan lebih terburu
Meringkas formasi angsa. Agustus ketiga, sapuan warna biru,
Batas antara kesan dan warna
Lalu kubuka kancing-kancing bajumu, lekat
ke harum susumu
Tak cukup bubuhkan tanda ke pesisir
Tuak atau pucat muka nahkoda
pada penghubung antara awan dan tatapan
Kita Cuma berkisar dengan saling menandai
Tanda koma pada almanak

Tapi angin. Semua besertanya : aku & buih ….kehadiran
& kemalangan. Kita sama—dalam menyadari tapi tangan kita
terkunci
di belakang karnaval

Tapi sabtulicik seragam hitam. Tuhan yang miskin yang pander
yang mainkan lagu yang palsu. Dapatkah kita lapang dengan
menyadari cinta ke buritan

(Surabaya, 6 September 2005)

Tidak ada komentar: